(RUU tentang informasi
dan transaksi elektronik (ITE) peraturan lain yg terkait (peraturan bank
indonesia ttg internet banking ))
RUU TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)
Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan
yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan
informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi
kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di
internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan
diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di
pengadilan.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk
setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar
wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia
dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pengertian dalam undang-undang:
Informasi Elektronik adalah
satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
·
Transaksi Elektronik adalah
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,
dan/atau media elektronik lainnya.
·
Teknologi Informasi adalah
suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan,
menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
·
Dokumen Elektronik adalah
setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer
atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.
·
Sistem Elektronik adalah
serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,
mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
·
Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah
pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau
masyarakat.
·
Jaringan Sistem Elektronik adalah
terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun
terbuka.
·
Agen Elektronik adalah
perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu
tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang
diselenggarakan oleh Orang.
·
Sertifikat Elektronik adalah
sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan
identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi
Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
·
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah
badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan
dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
·
Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah
lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi
oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat
keandalan dalam Transaksi Elektronik.
·
Tanda Tangan Elektronik adalah
tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan,
terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
·
Penanda Tangan adalah
subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
·
Komputer adalah alat untuk memproses
data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika,
aritmatika, dan penyimpanan.
·
Akses adalah kegiatan melakukan
interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
·
Kode Akses adalah
angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang
merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
lainnya.
·
Kontrak Elektronik adalah
perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
·
Pengirim adalah subjek hukum yang
mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
·
Penerima adalah subjek hukum yang
menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
·
Nama Domain adalah
alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat,
yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode
atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu
dalam internet.
·
Orang adalah orang perseorangan,
baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
·
Badan Usaha adalah
perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
·
Pemerintah adalah
Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
Secara umum, materi Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi menjadi dua bagian besar,
yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan
mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi
elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL
Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini
dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan
masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi
elektronik.
Beberapa materi yang diatur, antara lain:
1. pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah
(Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE); 2. tanda tangan elektronik (Pasal 11 &
Pasal 12 UU ITE); 3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification
authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan 4. penyelenggaraan sistem
elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE).
Beberapa materi perbuatan yang dilarang
(cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain: 1. konten ilegal, yang
terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama
baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE); 2.
akses ilegal (Pasal 30); 3. intersepsi ilegal (Pasal 31); 4. gangguan terhadap
data (data interference, Pasal 32 UU ITE); 5. gangguan terhadap sistem (system
interference, Pasal 33 UU ITE); 6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of
device, Pasal 34 UU ITE).
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG INTERNET BANKING
Internet
banking bukan merupakan istilah yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia
khususnya bagi yang tinggal di wilayah perkotaan. Hal tersebut dikarenakan
semakin banyaknya perbankan nasional yang menyelenggarakan layanan tersebut. Penyelenggaraan internet banking
yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi, dalam kenyataannya
pada satu sisi membuat jalannya transaksi perbankan menjadi lebih mudah, akan
tetapi di sisi lain membuatnya semakin berisiko. Dengan kenyataan seperti ini,
keamanan menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan. Bahkan mungkin faktor
keamanan ini dapat menjadi salah satu fitur unggulan yang dapat ditonjolkan
oleh pihak bank.
Salah satu
risiko yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah
internet fraud atau penipuan melalui internet. Dalam internet fraud ini
menjadikan pihak bank atau nasabah sebagai korban, yang dapat terjadi karena
maksud jahat seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang teknologi
informasi, atau seseorang yang memanfaatkan kelengahan pihak bank maupun pihak
nasabah.
Oleh karena itu
perbankan perlu meningkatkan keamanan internet banking antara lain melalui
standarisasi pembuatan aplikasi internet banking, adanya panduan bila terjadi
fraud dalam internet banking dan pemberian informasi yang jelas kepada user.
Peranan Bank Indonesia dalam Pencegahan
Internet Fraud
Salah satu
tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004
adalah mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut
Bank Indonesia diberikan kewenangan sbb:
·
Menetapkan peraturan perbankan termasuk
ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
·
Memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan izin pembukaan,
penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan
dan kepengurusan bank.
·
Melaksanakan pengawasan bank secara
langsung dan tidak langsung.
·
Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
·
Pelaksanaan kewenangan tugas-tugas
tersebut di atas ditetapkan secara lebih rinci dalam Peraturan Bank Indonesia
(PBI).
Terkait dengan
tugas Bank Indonesia mengatur dan mengawasi bank, salah satu upaya untuk
meminimalisasi internet fraud yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui
pendekatan aspek regulasi. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah
mengeluarkan serangkaian Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank
Indonesia yang harus dipatuhi oleh dunia perbankan antara lain mengenai
penerapan manajemen risiko dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking dan
penerapan prinsip Know Your Customer (KYC).
1. Manajemen risiko dalam penyelenggaraan
kegiatan internet banking
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia terkait dengan pengelolaan atau manajemen risiko penyelenggaraan
kegiatan internet banking adalah Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank
Indonesia No. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking).
Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a) Bank
yang menyelenggarakan kegiatan internet banking wajib menerapkan manajemen
risiko pada aktivitas internet banking secara efektif.
b) Penerapan
manajemen risiko tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan
pedoman tertulis dengan mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada
Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking), yang
ditetapkan dalam lampiran dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut.
c) Pokok-pokok
penerapan manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan internet
banking.
2. Adanya
pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang meliputi:
a) Komisaris
dan direksi harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap risiko yang
terkait dengan aktivitas internet banking, termasuk penetapan akuntabilitas,
kebijakan dan proses pengendalian untuk mengelola risiko tersebut.
b) Direksi harus menyetujui dan melakukan kaji
ulang terhadap aspek utama dari prosedur pengendalian pengamanan bank.
3. Pengendalian pengamanan (security
control)
a) Bank
harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian
(otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang melakukan transaksi
melalui internet banking.
b) Bank
harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin bahwa
transaksi tidak dapat diingkari oleh nasabah (non repudiation) dan menetapkan
tanggung jawab dalam transaksi internet banking.
c) Bank
harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem internet banking, database
dan aplikasi lainnya.
d) Bank
harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses
(privileges) yang tepat terhadap sistem internet banking, database dan aplikasi
lainnya.
e) Bank
harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi integritas
data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi internet banking.
f) Bank harus memastikan tersedianya
mekanisme penelusuran (audit trail) yang jelas untuk seluruh transaksi internet
banking.
g) Bank harus mengambil langkah-langkah
untuk melindungi kerahasiaan informasi penting pada internet banking. Langkah
tersebut harus sesuai dengan sensitivitas informasi yang dikeluarkan dan/atau
disimpan dalam batabase.
4. Manajemen
Risiko Hukum dan Risiko Reputasi
a) Bank harus memastikan bahwa website
bank menyediakan informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh
informasi yang tepat mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan
transaksi melalui internet banking.
b) Bank harus mengambil langkah-langkah
untuk memastikan bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan
yang berlaku di negara tempat kedudukan bank menyediakan produk dan jasa
internet banking.
c) Bank harus memiliki prosedur
perencanaan darurat dan berkesinambungan usaha yang efektif untuk memastikan
tersedianya sistem dan jasa internet banking.
d) Bank harus mengembangkan rencana
penanganan yang memadai untuk mengelola, mengatasi dan meminimalkan
permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan (internal dan
eksternal) yang dapat menghambat penyediaan sistem dan jasa internet banking.
e) Dalam hal sistem penyelenggaraan
internet banking dilakukan oleh pihak ketiga (outsourcing), bank harus
menetapkan dan menerapkan prosedur pengawasan dan due dilligence yang
menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengelola hubungan bank dengan pihak ketiga
tersebut.
5. Penerapan
prinsip Know Your Customer (KYC)
Upaya lainnya
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meminimalisir terjadinya tindak
kejahatan internet fraud adalah pengaturan kewajiban bagi bank untuk menerapkan
prinsip mengenal nasabah atau yang lebih dikenal dengan prinsip Know Your
Customer (KYC). Pengaturan tentang penerapan prinsip KYC terdapat dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia
6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 tentang Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait dengan
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pokok-pokok
pengaturannya antara lain sbb:
a) Prinsip
Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas
nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang
mencurigakan.
b) Dalam
menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah, bank wajib:
1. Menetapkan
kebijakan penerimaan nasabah.
2. Menetapkan
kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah.
3. Menetapkan
kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah.
4. Menetapkan
kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah.
c) Terkait
dengan kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah, maka:
1. Sebelum
melakukan hubungan usaha dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai
identitas calon nasabah, maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan
calon nasabah dengan bank, informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat
mengetahui profil calon nasabah dan identitas pihak lain dalam hal calon
nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Identitas calon nasabah
tersebut harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen pendukung dan bank wajib
meneliti kebenaran dokumen-dokumen pendukung tersebut.
2. Bagi bank
yang telah menggunakan media elektronis dalam pelayanan jasa perbankan wajib
melakukan pertemuan dengan calon nasabah sekurang-kurangnya pada saat pembukaan
rekening.
d) Dalam hal
calon nasabah bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain (beneficial
owner) untuk membuka rekening, bank wajib memperoleh dokumen-dokumen pendukung
identitas dan hubungan hukum, penugasan serta kewenangan bertindak sebagai
perantara dan atau kuasa pihak lain. Dalam hal bank meragukan atau tidak dapat
meyakini identitas beneficial owner, bank wajib menolak untuk melakukan
hubungan usaha dengan calon nasabah.e. Bank wajib menatausahakan
dokumen-dokumen pendukung nasabah dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun sejak nasabah menutup rekening pada bank. Bank juga wajib
melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen
pendukung tersebut.
f) Bank wajib
memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau
dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang
dilakukan oleh nasabah bank.
g) Bank wajib
memelihara profil nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai
pekerjaan atau bidang usaha, jumlah penghasilan, rekening lain yang dimiliki,
aktivasi transaksi normal dan tujuan pembukaan rekening.
h) Bank wajib
memiliki kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang sekurang-kurangnya
mencakup:
1. Pengawasan
oleh pengurus bank (management oversight).
2.
Pendelegasian wewenang.
4. Sistem
pengawasan intern termasuk audit intern.
5. Program
pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
i) Bank Indonesia
melakukan penilaian terhadap pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah/KYC dan
Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dimana penilaian tersebut
dilakukan secara kualitatif atas faktor-faktor manajemen risiko penerapan KYC.
6. Kegiatan
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Transparansi Produk Bank
Regulasi
lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan upaya meminimalisir
internet fraud adalah regulasi mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), mengingat APMK merupakan alat atau
media yang sering digunakan dalam kejahatan internet fraud. Ketentuan mengenai
penyelenggaraan APMK terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/30/PBI/2004
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP, tanggal 30 Desember 2005 tentang
Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan
Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Adapun
pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a). Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) adalah alat pembayaran yang berupa
kartu kredit, kartu ATM, kartu debet, kartu prabayar dan atau yang dipersamakan
dengan hal tersebut.
b). Bagi bank
dan lembaga bukan bank yang merupakan penyelenggara APMK harus menyerahkan
bukti penerapan manajemen risiko.
c). Penerbit
APMK wajib meningkatkan keamanan APMK untuk meminimalkan tingkat kejahatan
terkait dengan APMK dan sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap APMK.
d).
Peningkatan keamanan tersebut dilakukan terhadap seluruh infrastruktur
teknologi yang terkait dengan penyelenggaraan APMK, yang meliputi pengamanan
pada kartu dan pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses
transaksi APMK termasuk penggunaan chip pada kartu kredit. Selain itu, Bank
Indonesia juga mengeluarkan regulasi mengenai transparansi informasi produk
bank dan penggunaan data pribadi nasabah, sebagai upaya untuk mengedukasi
nasabah terhadap produk bank dan meningkatkan kewaspadaan nasabah terhadap
berbagai risiko termasuk internet fraud. Ketentuan tersebut terdapat dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 Jo SE No. 7/25/DPNP tentang
Transparansi Informasi Produk Bank Dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Pokok-pokok
pengaturan dalam ketentuan tersebut antara lain sbb:
a). Bank wajib
menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data
Pribadi Nasabah.
b). Bank
dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis
(misconduct).
c). Informasi
Produk Bank tersebut, minimal meliputi: nama produk, jenis produk, manfaat dan
resiko produk, persyaratan dan tatacara penggunaan produk, biaya-biaya yang
melekat pada produk, perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan,
jangka waktu berlakunya Produk Bank, penerbitan (issuer/originator) Produk
Bank.
d). Bank wajib
memberikan informasi kepada nasabah mengenai manfaat dan risiko pada setiap
produk bank, dimana bank harus menjelaskan secara terinci setiap manfaat yang
diperoleh nasabah dari suatu produk bank dan potensi risiko yang dihadapi oleh
nasabah dalam masa penggunaan produk bank.
Salah satu hal
penting dalam memproses pelaku internet fraud adalah pembukaan rahasia bank
untuk memperoleh keterangan simpanan milik pelaku internet fraud tersebut,
dimana keterangan tersebut dapat dijadikan salah bukti oleh aparat penegak
hukum untuk keperluan persidangan pidana.
Ketentuan
mengenai rahasia bank diatur dalam UU Perbankan dan kemudian diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada prinsipnya setiap Bank dan afiliasinya
wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya
(Rahasia Bank). Sedangkan keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah
penyimpan, tidak wajib dirahasiakan.
Terhadap
Rahasia Bank dapat disimpangi dengan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank
Indonesia untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank oleh
BUPN/PUPLN dan kepentingan peradilan perkara pidana dimana status nasabah
penyimpan yang akan dibuka rahasia bank harus tersangka atau terdakwa. Terhadap
Rahasia Bank dapat juga disimpangi tanpa izin terlebih dahulu dari pimpinan
Bank Indonesia yakni untuk kepentingan perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya, tukar menukar informasi antar bank, atas permintaan/persetujuan
dari nasabah dan untuk kepentingan ahli waris yang sah.
Dalam hal
diperlukan pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah
penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh pihak
aparat penegak hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) PBI Rahasia Bank,
dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
Namun demikian
untuk memperoleh keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah
yang diblokir dan atau disita pada bank, menurut Pasal 12 ayat (2) PBI Rahasia
Bank, tetap berlaku ketentuan mengenai pembukaan Rahasia Bank dimana memerlukan
izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
Urgensi
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang
tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)
Payung hukum
setingkat undang-undang yang khusus mengatur tentang kegiatan di dunia maya
hingga saat ini belum ada di Indonesia. Dalam hal terjadi tindak pidana
kejahatan di dunia maya, untuk penegakan hukumnya masih menggunakan
ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP yakni mengenai pemalsuan surat (Pasal
263), pencurian (Pasal 362), penggelapan (Pasal 372), penipuan (Pasal 378),
penadahan (Pasal 480), serta ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang tentang Merek.
Ketentuan-ketentuan
tersebut tentu saja belum bisa mengakomodir kejahatan-kejahatan di dunia maya
(cybercrime) yang modus operandinya terus berkembang. Selain itu dalam
penanganan kasusnya seringkali menghadapi kendala antara lain dalam hal
pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik dan ancaman sanksi yang
terdapat dalam KUHP tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh korban,
misalnya pada kasus internet fraud, salah satu pasal yang dapat digunakan
adalah Pasal 378 KUHP (penipuan) yang ancaman hukumannya maksimum 4 (empat)
tahun penjara sedangkan kerugian yang mungkin diderita dapat mencapai miliaran
rupiah.
Terkait dengan
hal-hal tersebut di atas, kehadiran Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU
Transfer Dana) diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan
memberantas cybercrimes serta dapat memberikan deterrent effect kepada para
pelaku cybercrimes sehingga akan berfikir jauh untuk melakukan aksinya. Selain
itu hal yang penting lainnya adalah pemahaman yang sama dalam memandang
cybercrimes dari aparat penegak hukum termasuk di dalamnya law enforcement.
Adapun
Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE dan RUU Transfer Dana saat ini telah diajukan
oleh pemerintah dan sedang dilakukan pembahasan di DPR RI, dimana dalam hal ini
Bank Indonesia terlibat sebagai narasumber khususnya untuk materi yang terkait
dengan informasi dan transaksi keuangan.
Kesimpulan
Seiring berkembangnya jaman dan teknologi yang
berkembang dengan pesat, masyarakat khususnya di Indonesia tidak lagi melakukan
transaksi jual-beli maupun pembayaran secara langsung. Sekarang ini, masyarakat tidak hanya melakukan transaksi,
misalnya dengan membeli barang di toko dengan uang tunai, tetapi transaksi tersebut
bisa dilakukan secara online dengan memanfaatkan internet sebagai medianya. Pembayaran
pembelian yang dilakukan tidak hanya lagi dengan uang tunai melainkan dengan
penggunaan kartu baik itu debit maupun kredit. Dengan latar belakang diatas
terciptalah undang-undang informasi dan transaksi elektronik atau dapat
disingkat menjadi UUITE. UUITE ini dibuat untuk mengatur ancaman hukum bagi
kejahatan melalui internet salah satunya dengan transaksi pembelian barang
secara online.
UUITE dibagi menjadi 2(dua) bagian besar, yaitu
pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik yaitu UUITE yang dimaksudkan
untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat
umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik sebagai bukti
yang sah di pengadilan, seperti: pengakuan informasi/dokumen
elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah, tanda tangan elektronik, penyelenggaraan
sertifikasi elektronik, dan lain sebagainya. Kedua adalah pengaturan
mengenai perbuatan yang dilarang (cybercrimes), seperti: konten
ilegal, akses ilegal, intersepsi ilegal, dan lain sebagainya.
Sumber:
http://anhararieee.blogspot.com/2013/05/peraturan-dan-regulasi-ruu-tentang.html
http://ryunana.blogspot.com/2014/05/peraturan-bank-indonesia-tentang.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik
http://nabiyutiful.blogspot.com/2012/05/ruu-informasi-dan-transaksi-elektronik.html