Tik tik tik…
Terdengar suara tetesan hujan yang pada sore itu mulai membasahi seluruh
pelosok kota Jakarta, sampai hujan pun membasahi sebuah rumah mungil
tapi tidak layak huni milik sepasang suami dan istri yang tidak lagi
muda. Atapnya yang terbuat dari seng mulai memercikan air tertanda bahwa
atapnya bocor. Kayu yang menyanggah rumah pun sudah tidak kokoh lagi
karena dimakan rayap. Dirumah mungil tersebut juga hanya terdapat satu
buah tempat tidur, lemari pakaian, kursi tua dan dapur seadanya.
Walaupun rumah itu kecil dan tua, tapi Nenek sangat apik dalam mengurus
rumah yang menjadikan rumah itu selalu bersih dan rapih.
Hujan semakin lama semakin deras, petirpun bersahutan seakan sedang
berlomba. Ternyata sedari tadi Nenek merasa cemas dan kecemasan itu
terbaca oleh Kakek. “Ada apa Nek?” Kakek bertanya kepada Nenek. ”Ini
Kek, apakah tidak apa-apa bila kita tetap disini? Nenek khawatir rumah
ini akan rubuh.” kata Nenek. Dengan menunjukan muka yang bersahaja Kakek
menjawab, “Nenek tidak perlu khawatir. Kita hanya perlu berdoa kepada
Tuhan YME.” kemudian Nenek hanya mengangguk tanda setuju.
Angin berhembus semakin kencang dan dengan diiringi oleh derasnya air
hujan. Tidak lama kemudian, hal yang paling ditakutkan Nenek pun
terjadi. Tiba-tiba atap yang terbuat dari seng tersebut terbang tertiup
angin. kayunya pun runtuh seketika. Untung saja Kakek dan Nenek sedang
berada diteras depan rumah karena sedang ingin memasuki kursi yang ada
diteras agar tidak basah.
Kakek dan Nenek kaget bukan main, mereka berdua diam seketika. Dengan
sekejap mata rumah mungil tersebut lenyap dan hanya menyisakan
puing-puing. Kakek memeluk Nenek yang mulai meneteskan air mata. “Kita
harus kemana, Kek? Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Nenek
sambil menangis tersedu-sedu. “Nenek tidak perlu menangis. Ayo bantu
Kakek mengumpulkan barang-barang yang tersisa dan kita harus pergi untuk
mencari tempat untuk berlindung!” jawab Kakek mencoba menenangkan
Nenek.
Setelah mengumpulkan barang yang tersisa, sepasang Kakek dan Nenek
tersebut berjalan meninggalkan rumah mungil mereka. Mereka pun berjalan
dan terus berjalan tanpa ada tujuan yang jelas. Mereka terus berjalan
hingga matahari mulai tenggelam dan malam pun tiba. Terdengar suara
kecil dari arah perut Nenek. “Nenek lapar ya? Sabar ya Nek, nanti Kakek
belikan makanan.” kata Kakek. Uang disaku kakek hanya 10 ribu rupiah.
Akhirnya kakek membelikan nasi bungkus dan minuman untuk mereka berdua.
Mereka makan sebungkus berdua dipelataran toko yang sepi. Kakek hanya
makan sepertiga-nya karena mengalah dengan Nenek yang terlihat begitu
lapar. Meskipun Kakek masih merasakan lapar, tapi Kakek membuang rasa
lapar itu jauh-jauh. Setelah selesai makan, mereka mulai menyelusuri
malam yang dingin berdua. Hujan sudah mulai reda, tapi Kakek belum tau
mau bermalam dimana. Kakek sudah kehabisan akal pikiran dan tidak tahu
mau kemana lagi.
Tak lama kemudian Kakek melihat sekelompok rumah dari kardus. Kakek dan
nenek menghampiri rumah-rumah kardus tersebut. Tiba-tiba ada seorang
Bapak-bapak menghampiri mereka, “Kakek sedang apa? Cari tempat tinggal?”
tanya si Bapak. “Iya, apakah ada tempat tinggal yang bisa saya tinggali
bersama istri saya?” tanya Kakek. “Kebetulan ada Kek, tapi rumah kardus
ini sangat sederhana sekali!” jawab si bapak. “Tidak apa-apa, yang
penting rumah ini cukup kuat untuk melindungi istri saya dari udara
malam.”
Akhirnya Kakek dan Nenek mempunyai tempat untuk berlindung untuk
sementa. Kakek berjanji kepada Nenek akan mencarikan tempat tinggal yang
lebih layak. Tiba-tiba nenek berkata, “Kek, Nenek tidak perduli
seberapa menderitanya kita, seberapa banyak cobaan yang dikasih Tuhan ke
kita. Yang penting Kakek selalu ada di sisi Nenek.” begitu kata nenek.
“Iya Nek, walaupun kita menderita, kita harus tetap berdoa kepada-Nya
agar selalu ada dijalan-Nya. Ingat Nek, papun yang akan terjadi, aku
akan selalu menemanimu karena Nenek adalah anugrah terindah yang dikasih
Tuhan kepada Kakek.” Kakek menjawab sambil memeluk Nenek.
Kakek menyuruh Nenek untuk tidur, dan Kakek memberikan kecupan selamat
tidur di kening Nenek dengan lembut sambil berkata, “Kakek mencintai
Nenek, selamanya. Selamat tidur istriku. Semoga mimpi indah.” begitulah
perkataan Kakek yang selalu diucapkan kepada Nenek sebelum tidur. Tak
lama kemudian, Kakek pun tertidur disamping Nenek dengan beralaskan
kardus dan berselimuti kain tipis yang lusuh. Mereka tidur dengan
ditemani suara tetesan air hujan yang membuat udara semakin dingin. Tapi
buat sepasang Kakek dan Nenek ini, jika mereka selalu bersama maka
sedingin apapun udara diluar, mereka akan selalu hangat.
Catatan:
Sebelumnya saya sudah memposting tulisan ini di: http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/06/10/dibawah-rintikan-hujan-aku-akan-selalu-menemanimu-463318.html tetapi saya re-post sebagai tulisan (portfolio) untuk memenuhi nilai saya. Terima kasih.